Mahasiswa yang Menyarjana

Akhir-akhir ini saya sering merasa galau, bukan hanya karena saya berada pada tingkat akhir berjubel dengan skripsi. Tapi saya meresahkan karena dalam 4 tahun ini belum banyak yang saya lakukan untuk diri sendiri, keluarga dan negara. Lazimnya memang mendapat gelar sarjana bagi sebagian orang adalah suatu tujuan. Tapi entah kenapa, hati ini seperti tak ingin meninggalkan gelar sebagai mahasiswa.

Ada perasaan seperti tak ingin tumbuh menjadi dewasa. Tak ingin disebut orang tua lah, tak ingin disebut sok bijak lah, konservatif, kuno, atau apapun yang membuat semua barang di dunia ini layak di museum kan. Perasaan seperti ini ternyata lebih menyiksa dari ditinggal nikah, dan lebih sakit di campakkan oleh orang yang kita sayangi.

Apakah kita harus menyalahkan keadaan? Berkata seperti “hey waktu! Kenapa kau tak pernah berhenti karena lelah! Ijinkan aku terhenti dalam kebahagiaan menjadi mahasiswa!!!”.  Berikan aku waktu untuk menjadi mahasiswa yang benar-benar belajar  saat semester-semester yang telah lalu!!.

Namun semakin ingin kembali, semakin tersiksa batin ini. Lalu pikiran ini terus membayangkan dengan yang terjadi setelah lulus nanti. Selalu ada pertanyaan yang “Kapan nikah?” atau “sudah lulus jang? Jadi sekarang kerja dimana?” atau yang paling parah adalah “tuh si anu yang gak kuliah sekarang sudah sukses, nah kamu yang harus nya kuliah kan gampang nyari kerja?” Pertanyaan-pertanyaan itu hadir setiap kali kita berpikir bahkan ketika tidur.

Beberapa waktu lalu saya dan anda sepakat mengatakan bahwa indonesia ditimpa berbagai bencana. Mulai dari banjir setinggi atap rumah, gunung-gunung pada meletus, butiran abu vulkanik yang bertebaran hampir sejauh 700KM dan berbagai peristiwa yang menyentuh hati saya dan anda bukan?

Lalu apa yang jadi masalah? Semua sepakat bahwa tahun 2014 ini kita sedang memasuki tahun politik. Pemilihan anggota dewan dan presiden, semua berebut kursi. Sehingga saya berpikiran sungguh naif ketika kita dicekoki oleh beberapa media yang mengaitkan bencana yang terjadi dengan kinerja pemerintah demi meraih simpati publik agar tujuan pencitraan politisi yang ada di media tersebut sesuai dengan yang diharapkan.

Akhirnya saya sempat menutup mata dari televisi beberapa waktu. Sampai ketika terasa JLEB hati ini, melihat tayangan dari salah satu stasiun tv swasta dengan bintang tamu Pak Habibie dan Tri Rismaharini (Walkot Surabaya) yang membuat saya tergugah dengan negeri yang bernama indonesia ini. Sebagai pemimpin atau pernah memimpin negeri ini, betapa tangguhnya mereka, betapa perjalanan sulit yang dilalui dengan berjuang sesungguh-sungguhnya. Dan mereka sama-sama dilahirkan dari satu wadah bernama “Universitas”.

http://i1.ytimg.com/vi/kt8djA5DjqA/0.jpg
http://i1.ytimg.com/vi/kt8djA5DjqA/0.jpg

http://image1.frequency.com/uri/w354_h200_ctrim_ll/_/item/1/4/7/9/Mata_Najwa_Habibie_Hari_Ini_5_Februari_2_147943234_thumbnail.jpg
http://image1.frequency.com/uri/w354_h200_ctrim_ll/_/item/1/4/7/9/Mata_Najwa_Habibie_Hari_Ini_5_Februari_2_147943234_thumbnail.jpg

Setelah sempat patah hati karena gelar sebagai “mahasiswa” akan berakhir, Saya akhirnya menyadari bahwa menjadi mahasiswa itu berproses dari pemikiran sederhana sampai berpikir rumit untuk menemukan kebenaran. Dan ternyata itulah hal berharga yang saya dapat selama 4 tahun menjadi mahasiswa. Pemikiran brilian, semangat membangun negeri, dan memberi pendidikan pada yang kurang cerdas, melindungi mereka yang lemah adalah tugas bagi para lulusan dari sebuah universitas.

Terimakasih Pak Habibie, terimakasih bu risma, saya yakin akan mengambil bagian seperti kalian, dan berusaha membangun negeri ini dengan baik dan jujur. Terimakasih sudah menjadi inspirasi terindah di masa-masa akhir kuliah ini. Bagiku dan bagi seluruh masyarakat indonesia. Biarkan menjadi pekerja adalah untuk mereka yang tak mengenyam bangku perkuliahan. Sarjana justru harus menjadi panutan, membuka lowongan pekerjaan bagi yang lain. Itulah “SARJANA”.

Sumber

Comments